Sahabatku

Waktu berjalan dengan cepat. sangat cepat..
Tak terasa kita sudah lama tak menghabiskan waktu bersama-sama lagi. Tertawa bersama-sama bahkan menangis bersama-sama dengan sapu tangan yang sama untuk menghapus air mata yang telah membasahi pipi.
Banyak doa yang sudah kulepaskan untuk seorang kamu, namamu selalu tak pernah lupa kuucapkan dalam bulir-bulir doaku. Keberhasilan dan kesehatanmu bahkan juga kebahagiaanmu, itu yang selalu ku utamakan.
Kemudian semua bahkan seperti sia-sia. Semua seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Sejenak aku berfikir, entahlah, apakah kau juga menyebut namaku dalam doamu? Bukan, bukan maksutku mengharapkan imbalan. Tapi, pernahkah sejenak kau berfikir tentangku?
Jarak membuat segalanya berubah. Begitu cepat kau termakan dengan jarak. Pengorbanan apapun yang pernah kulakukan untukmu, mungkin tak pernah jelas ada difikiranmu lagi untuk saat ini. Tapi tetap, pengorbananmu yang pernah kau lakukan untukku akan selalu tersimpan dalam memory otakku.
Harus bagaimana lagi agar kau mengerti bahwa kerinduan ini masih milikmu?
Kini aku merasa kau jauh, padahal kau sangat dekat. Kita masih berada dikota yang sama. Itu termasuk dekat, bukan? Tapi tetap, kau terasa begitu jauh untuk saat ini.
Apa mungkin karena kau sudah menemukan sahabat baru?
Aku cemburu? Ya, mungkin aku cemburu. Aku iri dengan mereka yang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Tapi selalu aku tepis jauh-jauh perasaan itu saat aku merasa kau bahagia bersama dia ataupun mereka yang kini telah mengganti posisiku. Menghapus air matamu kemudian kembali mengembangkan tawa milikmu.
Kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Kau menemukan sahabat baru dan dengan cepat melupakanku. 
Saat itu, mungkin karena sudah terasa begitu lama kita tak bertemu, dan saat harinya tiba, kau datang kerumahku bersamanya (sahabat barumu).
Aku dan kau hanya bisa saling membalas senyum kaku. Percakapan dimulai, dan saat itu rasanya seperti ada jarum yang menusuk ujung jariku. Perih. Menyakitkan. Rasanya seperti membuatku ingin tertidur.
“Cukup dia aja yang tau.” Sambil menepuk lembut pundaknya. Kau mengatakan itu (mungkin) dengan sangat sadar. Sangat menyakitkan. 
Apa yang telah terjadi antara kita? Aku merasa kita baik-baik saja sebelumnya.
Setelah itu juga, aku mulai menyerah untuk terus menghubungimu sekedar menanyakan kesehatanmu. Aku merasa gagal telah menjadi sahabatmu.
Kemudian kita dibalut pertengkaran kecil. Aku mengatakan yang sejujurnya, dan kau memohon maaf atau perkataan yang katamu tak kau sadari itu. Dan akhirnya, persahabatan kita kembali membaik.
Namun itu tak berjalan dengan lama, semua kembali lagi seperti sebelumnya. Aku hanya bisa tersenyum mendoakan yang terbaik untukmu sembari mempertahankan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun ini.
Seperti yang pernah kau katakan sebelumnya, “Jangan pernah lupain gue kalau lo udah punya sahabat baru.” Bisakah atau pantaskah kalimat itu kembali padamu?
Untuk persahabatan yang telah kita ikat dan janjikan 3 tahun lalu, aku akan tetap bertahan. Hanya kau dan aku yang tau, apa dan bagaimana sebenarnya arti persahabatan kita selama ini. Bukan hanya bahagia, namun juga ada air mata karena tantangan besar dalam menjaga persahabatan yang sebenarnya.

Komentar