Entahlah, sampai sekarang aku tidak tau persis, bagaimana kisahmu dengannya. Mungkin waktu yang belum memungkinkan atau, kau yang segan untuk berbagi denganku. Tapi secara tidak langsung, aku ikut andil dalam hubungan kalian. Kamu pertama kali mengenalnya lewat aku. Mulai dekat dengannya juga karena tidak jauh berhubungan denganku. Meski bukan itu tujuan awalnya.
Jadi jika sekarang kamu jadi dengannya,banyak namaku di dalamnya. Tidak, aku tidak akan membahas masalah ini. Toh buat apa? Kamu sudah dengannya, dan aku menikmati diriku yang sekarang.
Tapi, kamu harus punya batasan sayang, segala sesuatu itu ada aturannya. Dan kealfaanku disampingmu akhir-akhir jangan dijadikan ukuran atau bahan pertimbangan.
Kamu ada disana karena sebuah alasan, bahkan mungkin banyak.
Lalu, bisakah kamu menyebutkan sebuah alasan tepat, kenapa kamu melakukan kesalahan pada malam itu?
Jujur, aku merasa bersalah. Dan mungkin saja, aku memang turut bersalah dengan keadaan dirimu yang sekarang, sahabat yang telah kunggap sebagai saudara ini disalahkan, karena sebuah kesalahan fatal, yang seharusnya tidak ia lakukan.
Untuk apa kamu melakukan ini? Berkali kutanyakan. Kamu tidak pernah menjawab dengan benar.
Kamu tau itu salah, tapi masih kamu lakukan. Kamu tau itu tidak baik, tapi masih kamu sukai. Kamu tau itu menyakiti orang-orang di sekitarmu, bahkan orang yang kamu sayangi, tapi kamu tetap pada pendirianmu.
Lalu aku bisa apa? Kamu terlanjur cinta.
Berjuta kata kuteriakkan, kamu telah lupa.
Bahkan fakta kamu disalahkan, kamu abaikan, kamu telah buta.
Kulihat tangismu, di sela tawamu. Kubaca jelas, raut sedihmu. Kurasakan besarnya beban yang menghimpitmu. Lalu kuambil kepalamu, kuletakkan di atas bahuku, kuusap air matamu, kuusahakan sebisa mungkin mengurangi bebanmu. Lalu adakah dia disana? Untuk sedetikpun berkata “semuanya akan baik-baik saja”.
Lalu kurasakan linangan air mata makin deras dipipiku, mengiringi tangismu.
Mungkin, aku memang benar-benar bersalah atasmu.
Karena ada kalanya, aku lebih menyayangimu, lebih dari diriku. Sifatmu yang suka pesimis, tidak yakin pada kemampuan sendiri membuatku ikut berfikir atasmu. Ikut bertanggung jawab atas dirimu.
Entahlah, mungkin dia lebih menyayangimu. Meski kulihat ia sering menyakitimu.
Mungkin juga, dia lebih bisa mengerti kamu. Meski sering kulihat tangismu.
Atau mungkin, karna dia telah membuatmu jatuh cinta, karena ia seorang pria dan jelas, aku tidak bisa menjadi begitu.
Tapi bisakah? Untuk sejenak kamu mendengarkan kata-kataku, setidaknya hingga kamu lulus dan mendapatkan kampus terbaik, membanggakan orang tuamu. Hingga kemudian aku bisa tenang.
Komentar
Posting Komentar